Kesejahteraan Petani Tembakau Masih Memprihatinkan
MAGELANGEKSPRES.COM,MAGELANG SELATAN-Melihat produksi tembakau Indonesia seharusnya sebanding dengan kesejahteraan petani tembakau yang ada. Namun, fakta menunjukkan hal yang berbanding terbalik dengan pencapaian industri tembakau. Hal itu disampaikan oleh peneliti Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang, Heni Setyowati saat memaparkan penelitian petani tembakau di Jawa Tengah, Sabtu (25/7) di kampus setempat. Disebutkan, total produksi tembakau Indonesia sekitar 136 ribu ton atau sekitar 1,9 persen dari total produksi tembakau di dunia. Provinsi penghasil tembakau di Indonesia adalah Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah dengan luas lahan sekitar 206,2 ribu hektare atau 90 persen dari total luas lahan tembakau di Indonesia. Di masa pandemi, yang menuntut langkah ketahanan pangan sehingga terjadi penurunan area lahan dan produktivitas tembakau. \"Hal inilah yang selalu menjadi pertanyaan besar kenapa Indonesia sebagai salah satu negara yang menjadi produksi tembakau belum seimbang dengan kesejahteraan petani tembakaunya,\" katanya. Menurut dia, Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia namun ironisnya tak diikuti oleh kesejahteraan petani. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi produksi tembakau, antara lain cuaca atau musim yang tidak menentu dan sistem tata niaga yang tidak berpihak pada petani tembakau. Di tengah kondisi yang kurang menguntungkan ini, ternyata mulai ada pergeseran alih tanam maupun diversifikasi dari tembakau ke tanaman lain.\"Langkah ini pun memunculkan banyak tantangan dari teknologi budi daya, kelembagaan petani, keberpihakan kebijakan pemerintah kepada petani dan lain-lain,\" ujarnya. Baca Juga Knalpot Jambrong Dianggap Melanggar Melihat realitas tersebut, MTCC Universitas Muhammadiyah Magelang telah melakukan upaya pemberdayaan, pendampingan, dan riset terkait petani multikultur. Ia menyampaikan hasil riset terkait petani tembakau yang dilakukannya pada 2019 menunjukkan ketidakberdayaan petani tembakau, baik karena faktor internal maupun faktor struktur sosial. Menurut dia, perlu upaya strategis dan mekanisme untuk menguatkan kapasitas petani multikultur. Skema kebijakan terkait infrastruktur ekonomi perdesaan harus menjadi prioritas pemulihan ekonomi. \"Selain itu, penguatan modal, kelembagaan, jejaring antarpetani harus menjadi perhatian utama pemerintah,\" imbuhnya. Ketua FPMI, Istanto, menyatakan bahwa polikultur adalah solusi untuk ketahanan pangan dan juga membantu meningkatkan kesejahteraan petani. Ia menjelaskan bahwa selain berkontribusi terhadap ketahanan pangan memfokuskan tanaman petani pada pangan juga bisa meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagai contoh banyak petani yang memadukan tanaman tembakau bahkan beralih secara total ke tanaman sayuran dan pangan karena alasan tersebut. “Di Windusari, petani yang berhenti menanam tembakau karena selalu merugi dan melakukan tumpangsari dan diversifikasi sesuai dengan kondisi topografi tanah” jelasnya. Di ketinggian 400-700 meter petani menanam kentang manis, sementara di ketinggian 800-1000 meter tanaman hortikultura atau sayuran dan di ketinggian diatas 1000 di atas permukaan laut kopi Arabika dan bawang merah. Kini petani pun banyak yang menanam ubi jalar yang kualitasnya tidak kalah dengan ubi cilembu. Bahkan sudah masuk pasar ekspor. \"Hasil ubi jalar sudah masuk ke Malaysia dan Singapura, banyak petani di Windusari yang memilih ubi jalar karena proses budidaya yang tidak banyak membutuhkan biaya,\" katanya (hen)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: